Tanpa terasa bulan Ramadhan akan tiba. Bagi umat Muslim saatnya kini
bersuka cita. Menyambut datangnya bulan penuh rahmat, ampunan dan berkah
dari Allah SWT. Sebulan penuh kita mensucikan diri dengan menahan
segala nafsu, dendam hingga amarah hingga hari kemenangan itu pun tiba.
Berbicara tentang bulan Ramadhan atau bulan puasa, ada suatu tradisi di
masyarakat Jawa yang dilakukan menjelang bulan suci itu akan tiba, yakni
megengan. Tradisi megengan ini identik dengan satu jajanan khas, yakni kue apem. Megengan berasal dari kata megeng
(menahan), yang berarti (sebenarnya) mengingatkan kita bahwa sebentar
lagi mau memasuki bulan suci Ramadhan karena dibulan tersebut ada
kewajiban untuk umat Muslim untuk melaksanakan ibadah puasa sebulan
penuh lamanya. Megengan biasanya dilakukan menjelang minggu terakhir di
bulan Sya’ban, dan memang dalam syariat Islam sendiri tidak ada syariat
atau hukumnya atau bahkan tradisi untuk megengan ini. Megengan
sepenuhnya adalah tradisi baru yang ada di Jawa.
Dalam acara megengan biasanya ada acara mendoakan para sesepuh ahli
kubur yang telah wafat mendahului diri kita. Megengan juga diwarnai
dengan acara syukuran (ungkapan rasa syukur) dengan membagi-bagi makanan
(terutama kue apem), kue apem sebenarnya adalah ungkapan dari rasa
permintaan maaf secara tidak langsung kepada para tetangga kita, apem
asal katanya adalah afwum yang artinya meminta maaf. Dalam budaya Jawa,
meminta maaf secara langsung atas kesalahan yang dahulu mungkin pernah
kita lakukan adalah suatu hal yang berat (gengsi), karena itu bagaimana
agar dapat menerapkan ajaran Islam namun tidak membuat masyarakat Jawa
(dahulu) shock (sehingga alergi terhadap Islam) adalah dengan membaur melalui budaya.
Tradisi ini dipekenalkan pada saat penyebaran agama Islam di Jawa
(terutama Jawa Timur dan Jawa Tengah bagian selatan) oleh Sunan
Kalijaga. Seperti yang kita ketahui, beliau berdakwah pada masyarakat
Jawa pedalaman dengan metode alkuturasi budaya. Kanjeng Sunan
menggunakan metode pendekatan psikologi budaya kepada masyarakat Jawa
pedalaman sehingga menghapus sekat-sekat/pembatas yang dapat menganggu
syiar Islam. Masyarakat Jawa pedalaman (bukan pesisir Utara) memiliki
ikatan tradisi yang sangat kuat dan unggah-ungguh mereka sangat dijaga
terhadap orang yang lebih tua dan pemuka masyarakat terutama agama,
namun akan sangat sulit apabila mereka diharuskan meninggalkan budaya
yang telah lama mengikat diri mereka dengan sebuah aturan-aturan baru
(Islam) yang berbau budaya Arab.
Prinsip utama yang dianut Kanjeng Sunan dalam menginfiltrasi budaya Jawa
dengan muatan nilai-nilai keislaman adalah sabda Rasulullah Muhammad
SAW bahwa agama itu mudah maka mudahkanlah jangan dipersulit (dibikin
sulit) dalam pelaksanaannya. Kanjeng Sunan ingin mengajarkan pada
masyarakat tentang nilai-nilai islam termasuk melaksanakan sabda
Rasulullah Muhammad SAW lewat budaya (adat) yang ada di tengah
masyarakat. Dalam sebuah hadits, diceritakan bahwa Rasulullah Muhammad
SAW mengamini tiga doa yang diberikan oleh malaikat Jibril. Yang
pertama: Ya Allah, janganlah Engkau terima puasanya seorang anak yang
durhaka pada orang tuanya; Yang kedua: Ya Allah janganlah Engkau terima
puasanya seorang istri yang dholim kepada suaminya; Yang ketiga: Ya
Allah janganlah Engkau terima puasanya seseorang yang jahat kepada
tetangganya. Kanjeng Sunan tahu betul akan kandungan hadits ini,
sehingga beliau ingin agar nanti masyarakat Jawa (yang baru memeluk dan
mengenal Islam kala itu) yang akan melaksanakan ibadah puasa di bulan
suci tidak sia-sia dalam pelaksanaannya karena masih memiliki kesalahan
yang disengaja ataupun tidak sengaja kepada kedua orang tuanya, kepada
suaminya (atau keluarganya) dan kepada tetangganya.
Karena itu Kanjeng Sunan ingin menganjurkan budaya meminta maaf atas
segala kesalahan yang mungkin pernah terjadi kepada masyarakat Jawa,
namun hal ini bukan sebuah perkara baru yang mudah karena adat/budaya
Jawa untuk meminta maaf adalah sesuatu yang bernilai tinggi karena
menyangkut harga diri, sehingga untuk mengajarkannya dan masyarakat mau
menerimanya dengan suka hati dan tidak ada rasa tersinggung maka Kanjeng
Sunan mengajarkannya dengan “action” langsung yaitu meminta kepada
masyarakat untuk membuat sebuah kue yang bahan dasarnya dari beras ketan
putih, dicampur dengan santan kelapa, gula dan garam. Setelah
terkumpul bahan-bahan yang diperlukan semuanya, maka Kanjeng Sunan
menunjukan cara untuk memasaknya dan setelah masakan itu matang maka
Kanjeng Sunan mengajak masyarakat sekitar untuk duduk kumpul bersama dan
mengajarkan kepada masyarakat arti akan makanan tersebut. Kue ini
namanya afwum, artinya maaf maka dengan kue ini berilah maaf dan
mintalah maaf kepada tetangga dan saudara-saudaramu yang ada
disekitarmu, karena Allah suka akan hamba-Nya yang suka memberi maaf dan
mau saling memaafkan. Tradisi tersebut akhirnya berjalan dengan setia
hingga saat ini di masyarakat Jawa (khususnya Jawa Timur dan Jawa
Tengah), di mana selain berbagi makanan maka di dalam tradisi megengan
biasanya masyarakat Jawa sekalian mendoakan arwah para leluhurnya yang
sudah wafat mendahuluinya.
Bagi masyarakat Surabaya, selain kue apem yang dibagikan. Dalam megengan
ini, diikutsertakan pula pisang raja. Ini tentu mengandung makna atau
filosofi tersendiri dibalik penggunaan kue apem dan pisang raja dalam
acara megengan. Konon katanya, jika kedua panganan (apem dan pisang
raja) ini disatukan akan menjadi payung. Kue apem sebagai bagian atap
payung dan pisang raja sebagai tangkainya atau gagang dari payung.
Payung itu sendiri melambangkan perlindungan dari segala rintangan dan
halangan selama menjalankan ibadah di bulan Ramadhan. Entah bagaimanakah
pengejawantahan dari tradisi megengan itu, kita tak perlu
merisaukannya. Yang terpenting adalah kesungguhan dan niat kita dalam
mempersiapkan diri, mental dan iman untuk menyambut bulan suci Ramadhan,
yang secara tulus dan ikhlas demi mengharapkan ridho dari Allah SWT.
Akhir kata, semoga tulisan ini bisa bermanfaat bagi kita semua untuk
menghargai dan melestarikan tradisi tersebut selama tidak bertentangan
dengan kaidah dan syariat agama. Semoga pula Ramadhan yang akan kita
songsong ini dapat menjadikan kita sebagai insan yang semakin beriman
dan bertaqwa kepada Allah SWT. Amin.. Saya mewakili arek-arek Suroboyo
pada kesempatan mulia menjelang bulan suci Ramadhan ini juga ingin
meminta maaf yang sebesar-besarnya apabila pernah ada kesalahan, amarah
ataupun kealpaan yang pernah dilakukan baik secara sengaja maupun tak
disengaja..
0 komentar:
Posting Komentar